TuesdayTalk 06: Pengelolaan Sampah Berbasis Kawasan

Persoalan sampah merupakan masalah yang sudah dikenal luas namun sangat sedikit yang peduli dan mencoba mengurai masalah ini secara serius. Dalam kegiatan TuesdayTalk ini, LP3M UNU Yogyakarta mengundang Bledug Kusuma Prasaja (dosen prodi teknik elektro) untuk berbagi gagasan tentang pengelolaan sampah berbasis kawasan dan inovasi teknologi pengelolaan sampah.

Pada hari Selasa, 7 Maret 2023 yang lalu LP3M UNU Yogyakarta telah menyelenggarakan kegiatan TuesdayTalk edisi ke 6 (enam) dengan mengangkat tema “Pengelolaan Sampah Berbasis Kawasan.” Persoalan sampah merupakan masalah yang sudah dikenal luas namun sangat sedikit yang peduli dan mencoba mengurai masalah ini secara serius. Dalam kegiatan ini, LP3M UNU Yogyakarta mengundang Bledug Kusuma Prasaja (dosen prodi teknik elektro) yang telah lama menggeluti persoalan sampah dan berhasil membuat inovasi teknologi pengelolaan sampah.

Dari tema yang diangkat, ada istilah yang menarik yaitu “berbasis kawasan.” Data statistik mengatakan bahwa di kawasan perkotaan Yogyakarta hampir 90 persen sampah berakhir di TPA Piyungan. Untuk volumenya sekarang mencapai 700-800 ton per hari. Namun, jika waktu liburan tiba dan Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata, volume sampah yang harus diangkut dari kawasan perkotaan bisa mencapai 950 ton per hari. Padahal kapasitas daya tampung TPA Piyungan saat ini telah overload. TPA yang didirikan pada tahun 1996 ini menurut aturan harus berhenti beroperasi sampai April 2023. Jika ini benar terjadi lantas bagaimana alternatif pengelolaan sampah di perkotaan Yogyakarta? Menurut Pak Bledug, apa yang bisa diupayakan adalah dengan mendorong warga Yogyakarta untuk secara mandiri mengelola sampah di lingkungan terdekatnya.

Sebagai dosen yang konsen pada masalah sampah, pak Bledug menekankan bahwa pengelolaan sampah itu sangat penting untuk diperhatikan. Ia mengatakan bahwa sebenarnya tumpukan sampah di TPA itu sangat berbahaya karena mengandung gas metana yang mudah meledak. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila aturan regulasi tentang TPA mengharuskan pendirian permukiman yang aman minimal berjarak 1 kilometer. Namun dalam kenyataan, seperti yang ada di TPA Piyungan, permukiman warga malah berdampingan dengan TPA. Mereka yang tinggal di sekitar TPA biasanya adalah yang para pemulung yang memungut barang yang masih bernilai di tumpukan sampah seperti plastik, kaleng dan botol kaca.

Pak Bledug kemudian bercerita tentang petaka sampah Leuwigajah. Pada 21 Februari 2005 TPA Leuwigajah yang berada di kota Cimahi, Jawa Barat meledak yang menyebabkan gunung sampah longsor. Akibatnya, sekitar 150 orang tewas karena tertimbun sampah. Peristiwa ini lantas menjadi pengingat kalau pengelolaan sampah di TPA tidak bisa sembarangan.

Penanganan sampah di kawasan perkotaan tentu membutuhkan instrumen kebijakan dan harus melewati struktur birokrasi yang rumit. Selain itu pemerintah juga tampak kesulitan dalam menyediakan lahan untuk lokasi TPA karena penolakan dari warga sekitar. Dari situ gagasan tentang pengelolaan sampah secara mandiri muncul, ungkap pak Bledug. Dalam konteks ini kawasan yang menjadi sasaran adalah lingkungan kampus. Artinya, bagaimana lingkungan kampus (UNU Yogyakarta) mampu mengelola sampah yang dihasilkan secara mandiri dan tidak lagi menyumbang sampah ke TPA Piyungan atau zero to Piyungan.

Pak Bledug juga menyinggung soal sampah di lingkungan pondok pesantren. Rata-rata dalam satu hari setiap santri memproduksi 9 sampah plastik. Kalau dikalikan dengan jumlah santri dan volume sampah lain hasilnya akan cukup besar. Inilah yang menjadikan pondok pesantren perlu memiliki pengelolaan sampah secara mandiri. Terkait dengan perkembangan teknologi mutakhir, pak Bledug mengingatkan bahwa sampah-sampah elektronik ke depan akan semakin banyak. Apalagi wacana penggunaan baterai secara massif untuk kendaraan nantinya juga akan menghasilkan sampah-sampah baterai. Kita juga perlu mulai memikirkan bagaimana mengelola sampah baterai tersebut, jelas pak Bledug.

Apa yang pak Bledug harapkan adalah dari sedikit orang yang peduli sampah akan lahir para pejuang untuk mengelola sampah. Menurut pak Bledug ada tiga komponen utama dalam pengelolaan sampah. Pertama, peraturan atau regulasi. Hal ini terkait dengan keinginan baik atau komitmen dari pimpinan yang dijalankan dalam institusi. Kedua, teknologi yaitu peralatan yang digunakan untuk mengolah sampah. Terakhir, soal kesadaran dan pengetahuan tentang sampah.

Untuk teknologi pengolah sampah, pak Bledug menjelaskan, sejauh ini ada tiga teknik yang sering digunakan yaitu insenrator, perolisis dan gasifier. Insenrator adalah metode pembakaran dengan banyak oksigen. Ini adalah teknologi yang sudah dikenal oleh masyarakat umum. Namun kekurangan dari teknologi ini adalah tidak ramah lingkungan karena menghasilkan abu dan asap. Perolisis adalah metode pembakaran minim oksigen. Teknologi ini mirip dengan cara kerja oven. Adapun produk turunan yang dihasilkan adalah arang, syngas (synthetic natural gas) dan minyak sintetis.

Teknologi perolisis adalah teknik pengolahan sampah yang dikembangkan oleh pak Bledug bersama kolega. Teknologi ini sudah diuji coba dan siap untuk diterapkan di lingkungan kampus UNU Yogyakarta. Teknologi pengolah sampah yang dikembangkan pak Bledug ini memiliki kapasitas 200 kg. Agar bisa beroperasi optimal selama 4 jam, teknologi ini memerlukan 20-30 liter oli bekas sebagai bahan bakar. Jika sampah yang dimasak sebagian besar adalah plastik maka akan semakin banyak pula minyak sintetis yang dihasilkan.

Pak Bledug juga mengatakan bahwa selama ini pengelolaan sampah masih dilihat sebagai cost center. Artinya sesuatu yang berbiaya tinggi. Secara ekonomi memang pengelolaan sampah itu tidak menguntungkan tapi secara sosial ada benefit (manfaat) yang bisa dihasilkan, terang Bledug. Soal kontribusi industri dalam menghasilkan sampah, pak Bledug mengatakan, seharusnya perusahaan-perusahaan besar bertanggungjawab dengan produk yang mereka jual. Dengan kata lain sampah produk industri seperti bungkus plastik, kaleng dan botol sudah semestinya dibebankan pada pembuatnya. Untuk itu sebagai warga masyarakat kita berhak mendapatkan dana CSR dari penyampah besar untuk pengelolaan sampah di kawasan sekitar.

Terakhir, pak Bledug menyinggung soal konsep green building yang disematkan pada gedung baru kampus UNU Yogyakarta. Ia menegaskan bahwa konsep ini akan lebih bergaung jika gedung baru itu memiliki pengelolaan sampah secara mandiri. Inilah yang menjadi point utama pada kegiatan TuesdayTalk pada sing hari itu yaitu tentang bagaimana UNU Yogyakarta mampu menjadi kampus yang peduli pada isu lingkungan khususnya sampah.

(ASE)

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest